Teks ruangrupa di Parlemen di Jerman
Selamat siang para anggota parlemen Jerman,
Saya Ade Darmawan, dan pada hari ini saya berdiri di sini sebagai perwakilan dari ruangrupa.
Saya ingin memulai sesi ini dengan menyampaikan suatu fakta sejarah. Pada 1955, Arnold Bode menyelenggarakan peristiwa seni documenta di Kassel, Jerman, untuk mengobati luka-luka yang yang disebabkan oleh Perang Dunia II. Beberapa bulan sebelumnya pada tahun yang sama, di Bandung, Indonesia, sekelompok pemimpin dunia secara kolektif meletakkan batu pertama dalam Konferensi Asia-Afrika, apa yang di kemudian hari dikenal sebagai Gerakan Non-Blok. Dalam konferensi penting tersebut didiskusikan tentang bagaimana membangun kemerdekaan di atas puing-puing yang disebabkan oleh penjajahan. Kami merasa perlu menyebutkan ini karena dua fakta sejarah yang terjadi pada tahun yang sama ini telah menunjukkan kepada kita tentang bagaimana menyikapi kekejaman perang dengan dua cara yang berbeda.
documenta fifteen telah dibuka dengan penuh kegembiraan. Perjalanan panjang menuju pembukaan tersebut diselingi dengan berbagai tantangan, mulai dari pandemi corona, dan juga adanya tuduhan anti semit yang diarahkan kepada kami pada 6 bulan terakhir sebelum pembukaan. Melalui situasi yang sulit ini, kami tetap berharap bahwa pembukaan documenta fifteen tersebut sudah memungkinkan terjadi dan juga cukup membuktikan kerja-kerja kolektif kami selama ini. Namun demikian, kami juga berharap agar momen ini menjadi momen di mana kebenaran bisa kita ungkap bersama dan selanjutnya kita bisa saling memahami.
Saya ingin melanjutkan dengan mengangkat bahan pembicaraan utama, yaitu karya Taring Padi berjudul “Keadilan Rakyat”, dan proses perjalanan panjang lumbung. Tapi sebelum itu, mewakili ruangrupa, izinkan saya sekali lagi mengulangi permohonan maaf kami, sebagaimana yang juga telah kami rilis secara online setelah ditemukannya gambar yang mengandung unsur anti semit di salah satu karya yang dipamerkan. Sebagaimana yang tertulis dalam rilis tersebut bahwa: kami memohon maaf atas rasa sakit hati dan ketakutan yang muncul disebabkan oleh gambar figur tersebut, baik secara langsung di documenta fifteen, maupun yang direproduksi oleh pemberitaan media.
Kami memahami situasi yang sedang berlaku mengenai hal tersebut di atas, dan itu pula kenapa saya ada di sini adalah dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa dan bagaimana ceritanya sehingga spanduk besar Taring Padi “Keadilan Rakyat” bisa dipamerkan tanpa ada satu pun orang yang memperhatikan bahwa di dalam spanduk tersebut ada gambar yang bisa menyebabkan masalah. Saya ingin menjawabnya dengan beberapa cara.
Bagi kami, sangat penting untuk menceritakan tentang konteks sejarah Indonesia melalui karya-karya Taring Padi dengan mengikutsertakan karya-karya awal mereka yang dibuat di sekitar tahun jatuhnya rezim Orde Baru (1998) dan era awal reformasi pasca 1998—era yang sama ketika ruangrupa didirikan.
Ada beberapa hal-hal praktis yang menyebabkan pemasangan spanduk tersebut tertunda, termasuk perancah yang akan menopang karya tersebut. Ketika spanduk akhirnya bisa digantung, kami mengetahui bahwa kondisinya terlalu rapuh untuk bertahan selama 100 hari, dan spanduk itu sangat perlu untuk diperbaiki. Akibatnya, “Keadilan Rakyat” baru dapat kita semua saksikan pada saat pembukaan publik, setelah preview selesai.
Namun, mengapa kami tidak memperhatikan unsur anti semit di spanduk tersebut? Saya ingin mengawali poin berikut ini dengan permintaan agar Anda tidak mendengarnya sebagai sesuatu yang meremehkan. Tidak setiap penonton membawa pengalaman visual yang sama ketika melihat lukisan. Ketika Anda melihat sosok yang menyangkut anti semitisme dalam suatu lukisan, Anda langsung mengaitkannya dengan bab tergelap dalam sejarah Jerman dan dengan sejarah ikonografi memalukan yang sayangnya pernah sangat hadir terutama di Eropa dan dunia Barat. Kami tidak memiliki reaksi langsung dan mendalam yang sama karena kami berasal dari konteks sejarah yang berbeda.
Spanduk yang dibuat secara kolektif tersebut (lebih dari dua puluh orang mengerjakannya sekaligus), termasuk bagian-bagian yang dipermasalahkan, mengandung elemen-elemen yang sangat tertanam dalam sejarah dan bahasa visual Indonesia. Sejarah tersebut termasuk tentang bagaimana dinas-dinas rahasia Barat menyokong rezim pembantai yang kejam, yang mengakibatkan terbunuhnya lebih dari 500.000 hingga 1.000.000 orang atas nama anti-Komunisme pada tahun 1965.
Sejarah tersebut juga mencakup eksploitasi para penjajah selama berabad-abad oleh kerajaan-kerajaan Eropa, seperti Belanda, dan juga Jepang selama Perang Dunia II. Bagian dari kekerasan kolonialis tersebut adalah diadu dombanya orang-orang non-kulit putih untuk saling menghancurkan. Anda pasti tahu bahwa dalam kasus Indonesia sendiri, orang-orang Indonesia direkayasa sedemikian rupa untuk melawan minoritas Cina, dan untuk melakukan ini, seperti yang mungkin Anda ketahui juga, para perwira Belanda tersebut memperkenalkan ide-ide dan citra anti semit Eropa untuk menggambarkan orang Cina sama dengan cara orang Eropa menggambarkan orang Yahudi. Hal ini dengan cara yang mengejutkan dan memalukan menemukan siklus penuhnya pada kasus ini. Gambar itu berasal dari Eropa, kemudian diubah dan disesuaikan dalam konteks budaya kami, dengan cara yang tidak dapat diterima—sebuah proses yang perlu kita semua pikirkan bersama.
Pendekatan kuratorial kami bukanlah pendekatan otoriter klasik yang memegang kontrol penuh atas seluruh unsur kekaryaan dalam peristiwa pameran. Kami lebih memilih untuk saling berkolaborasi sehingga seniman-seniman bisa melanjutkan apa yang sudah menjadi bagian dari proses kekaryaan mereka sebelumnya dan lalu mereka menerjemahkannya ke konteks Kassel dengan cara yang tidak ekstraktif dan bisa regeneratif dalam proses mereka. Kami mengadakan diskusi terus menerus dengan seniman tentang etika, politik, proses, dan cara mereka bekerja. Sering kali, kolaborator kami mengundang lebih banyak kolaborator. Kami menaruh kepercayaan mutlak dalam proses ini kepada kolaborator kami yang dapat menghasilkan karya yang mungkin mengejutkan, bahkan untuk kami sendiri. Keputusan-keputusan dibahas dan diambil secara bersama-sama dalam majelis. Pendekatan kuratorial dan tanggung jawab dalam lumbung terletak pada kolektivitas ini. Kami melihat ini sebagai upaya politik, di mana agen kolektif, pengambilan keputusan dan kepengurusan menghadirkan pilihan bentuk yang otoritatif.
Dengan setiap pihak yang bekerjasama dengan kami dan terlibat dalam proses ini, kami telah mencoba untuk mengurangi peran artistic direction untuk documenta fifteen. Hasilnya, yang telah terbukti dapat disaksikan oleh ribuan pengunjung yang tak henti mengunjungi Kassel sampai saat ini, tidak mungkin terjadi tanpa eksperimen menuju proses yang lebih demokratis dalam merealisasikan sebuah pameran. Kami menyadari dan menyambut risiko ini sepenuhnya, mengetahui bahwa kami dapat mengambil kesalahan sebagai momen pembelajaran.
Dengan menimbang semua keadaan yang ada, menurunkan “Keadilan Rakyat” dari Taring Padi, amat kami sayangkan tapi sadari penuh, adalah satu-satunya hal yang tepat untuk dilakukan.
Dari sekian banyak tantangan yang kami hadapi di bulan-bulan sebelum pembukaan, kami ingin menyatakan bahwa saat-saat tersebut dipenuhi dengan rentetan tuduhan dan serangan yang tidak berdasar, yang tidak diragukan lagi menciptakan suasana, di mana alih-alih nilai-nilai lumbung teraplikasikan – saling belajar berdasarkan menghormati – malah yang terjadi adalah adanya dorongan untuk menginterogasi, menyensor, mengusir, tercipta secara terus menerus.
Pada kesempatan ini kami juga ingin menginformasikan kepada publik yang lebih luas, bahwa sebagai akibat dan cerminan dari situasi ini, kami, ruangrupa dan tim artistik, bersama dengan kolaborator kami—para seniman dan anggota tim yang bekerja untuk documenta fifteen—masih mengalami berbagai tantangan: pelecehan, baik secara fisik maupun di ranah platform digital, hingga hari ini. Kami sadari bahwa hal ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua, termasuk kami bersama manajemen documenta, untuk menjamin rasa aman dan nyaman bagi semua sampai pameran 100 ini selesai.
Jadi izinkan saya menyampaikan ini: tuduhan terhadap kami tetap keliru. Seandainya obrolan dapat terjadi dalam ruang dan waktu yang cukup, termasuk dengan dan di antara kami, para seniman dan anggota tim, rasa setara seharusnya dapat terpelihara. Dialog dan rasa saling percaya (bukan konfrontasi tak berkesudahan dan rasa saling berkhianat yang kita alami sampai hari ini), dalam semangat serial “We Need To Talk” seharusnya dapat berjalan demi terjadinya diskusi secara produktif dan terbuka tentang anti semitisme dan rasisme dalam ranah seni dan masyarakat.
Saya ingin memperjelas juga bahwa: tidak ada “boikot tersembunyi” terhadap orang Israel dan/atau Yahudi. Adalah sebuah fakta bahwa documenta fifteen juga dikerjakan bersama seniman-seniman Israel dan Yahudi, yang akibat permintaan pihak-pihak yang bersangkutan dengan hormat tak akan kami sebut namanya. Kami tidak pernah memahami peran yang harus kami emban di sini dalam rangka menghadirkan representasi suatu negara tertentu, atau berdasarkan identitas etnis dan agama. Sebagian besar dari kami bekerja dan mengembangkan lumbung sebagai konsep dan praktek justru karena kami mempertanyakan sistem kerja dan politik negara-bangsa. Seniman bekerja untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan dan identitas nasional, negara, etnis dan agama, dan mereka menolak untuk dikait-kaitkan dengan hal-hal tersebut.
Kami yang berpameran di documenta fifteen, termasuk ruangrupa dan Taring Padi, berasal dari konteks di mana sensor sering terjadi. Adalah niatan kami dari awal untuk merayakan kebebasan berekspresi melalui documenta fifteen. Hal ini penting tidak hanya bagi komunitas lumbung dan documenta, tetapi bagi seluruh perjuangan di seluruh dunia yang mendukung suara-suara kritis melawan kekerasan negara dan kapitalisme yang melahirkan krisis iklim – yang pada saat bersamaan menjadi ancaman juga bagi dan di Jerman. Kami memahami bahwa terlepas dari keyakinan ini, kebebasan berekspresi ini tidak boleh meluas ke hal-hal yang menyakitkan atau bersifat menghasut.
Oleh karena itu, kami sangat berharap agar apa pun yang menyerupai atau berbau seperti sensor, pembungkaman suara, dan reproduksi trauma yang kita semua harus hadapi setiap hari, tak terjadi. Sebuah kondisi di mana kekuasaan menjalankan kendali mereka dengan mengawasi praktek seni, mengarahkan apa yang boleh dilakukan, dikatakan, diekspresikan, dan juga mengawasi penggunaan sumber dayanya. Meskipun kami ingin belajar dari kesalahan kami, penting untuk mengingatkan Anda bahwa kami juga di sini untuk berbagi perspektif, pengalaman, dan pengetahuan kami.
Izinkan saya mengakhiri dengan mengatakan bahwa ini bukan tentang dunia bagian selatan sebagai sesuatu yang asing bagi atau terpisah dari dunia bagian utara. Orang-orang Eropa telah hidup berdampingan dengan apa yang disebut sebagai dunia bagian selatan selama berabad-abad, sejak masa penjajahan hingga di era ekspansi kapitalisme sampai saat ini. Pensejajaran yang tidak tulus, yang melihat documenta fifteen sebagai pameran yang mewakili suara-suara dari dunia bagian selatan hanya akan mereduksi ide dan diskusi yang telah kami angkat di lumbung dan di pameran ini. Dengan metode lumbung, kami harap lebih banyak lagi pembicaraan tentang bagaimana kita semua bisa belajar, berbagi, dan hidup bersama dengan orang-orang dari kosmologi yang berbeda namun saling berhubungan.
Kami harap kita semua bisa merealisasikan potensi besar ini sampai pameran 100 hari ini selesai. Dan juga yang terpenting, setelahnya.